Siapa yang belum pernah mendengar kalimat di atas? Saya rasa kita semua sudah pasti paham bahwa berbagi artinya kita peduli. Itu makanya, saya nggak segan-segan menerima ajakan sebagai speaker di berbagai acara talkshow dan seminar untuk menceritakan pengalaman saya sukses di usia muda. Saya yakin dengan berbagi maka akan semakin banyak orang yang termotivasi untuk berhasil mengejar impian mereka masing-masing. Saya juga yakin bahwa berbagi cara sukses nggak akan bikin diri saya kekurangan atau takut dikalahkan, malah membuat saya semakin kepengen jadi orang yang lebih baik lagi supaya semakin ‘layak’ berbagi inspirasi.

Tapi ternyata ada satu kalimat lagi yang begitu menggelitik saya. Kalimat itu adalah listening is caring. Iya, jadi bukan cuma berbagi yang menandakan kita peduli, tapi juga mendengarkan. Kalau dipikir-pikir, ini benar banget. Nggak ada gunanya saya berbagi kalau nggak ada yang mendengarkan. Jadi, saya sangat menghargai orang yang datang ke satu acara buat dengerin saya sharing. Bukan cuma saya yang peduli lewat berbagi, mereka pun peduli lewat mendengarkan saya ‘ngoceh’.

Berangkat dari sini, saya kepikiran dengan banyaknya startup, bisnis, dan UKM yang berkembang pesat di Indonesia. Saya berandai-andai jika mereka mendengarkan betul-betul apa kebutuhan konsumennya, pasti mereka akan berhasil membuat produk yang relevan dan meminimalisir risiko kegagalan.

Konsumen butuh didengar dan diperhatikan opininya. Saya semakin sadar hal ini ketika saya melihat fakta bahwa data dari media sosial merajai keseluruhan data yang ada di internet, di mana kekayaan data ini tumbuh juga berkat pemikiran masyarakat yang dituangkan sebebas-bebasnya ke media sosial. Bayangin aja, gara-gara media sosial, orang bisa dengan gampangnya sharing pendapat mereka ke ratusan bahkan ribuan orang secara online. Bandingkan dengan mereka yang berpendapat lewat kuesioner. Biasanya mereka nggak menjawab dari hati karena dapat imbalan pulpen cantik.

Jadi, kalau kita memang peduli dengan konsumen, kita nggak bisa lagi mengabaikan media sosial. Menurut saya, mendengarkan percakapan calon konsumen di media sosial jauh lebih memudahkan dibanding berasumsi. Mudah karena kita bakal punya peta yang menuntun kita ke tujuan. Mudah karena kita dapat informasi yang benar. Mudah karena kita jadi percaya diri waktu mau ambil keputusan atau mengeluarkan sebuah produk. Banyak, kan, kemudahan yang kita dapat kalau mendengarkan konsumen di media sosial. Apa ruginya berasumsi? Rugi waktu, biaya, dan tenaga. Salah lagi, coba lagi, salah lagi. Trial and error.

Peduli Nggak Cuma Lewat Berbagi

Ini jadi alasan kenapa GDILab.com berdiri 3 tahun yang lalu. Saya dan teman-teman saya punya visi yang sama: Membantu startup, bisnis, dan UKM di Indonesia mendapatkan market insight dari media sosial demi menaikkan performa bisnis. GDILab.com sendiri pernah membantu klien yang bergerak di industri fitness center dengan menemukan Zumba sebagai olahraga yang kerap dibicarakan pada hari dan jam tertentu. Akhirnya, klien kami bisa membangun strategi pemasaran tanpa ragu-ragu apakah masyarakat akan suka atau tidak.

See? Listening is caring, indeed. Nggak mau mendengarkan dan hanya mengandalkan asumsi bikin kita have no idea mau ngapain dan mau ke mana. Sebaliknya, mendengarkan menunjukkan kalau kita mau relevan dengan kebutuhan orang yang kita dengarkan.

Kita sering mendengar, a journey of thousand miles begins with a single step. Buat saya, a journey of great entrepreneurship starts with listening.

See you ON TOP,
@billyboen

 

* Artikel ini telah dipublikasikan di Kaskus.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.