Sumber: www.news.starbucks.com

Baru-baru ini Starbucks mengeluarkan produk baru mereka. Bukan kopi, melainkan teh, yaitu Starbucks Teavana (http://travel.kompas.com/…/starbucks.luncurkan.deretan.teh.….). Pertanyaannya adalah kenapa teh? Apakah Starbucks mau mengembangkan produk usahanya menjadi cafe serba ada? Padahal kalau dilihat tea house justru sedang suram.

Jauh sebelum Starbucks mengeluarkan produk teh mereka, saya menemukan sebuah trend yang unik antara perilaku minum kopi dengan teh, khususnya di Indonesia.

Walaupun secara SOV (Share of voice) persentasi orang ‘ngopi’ jauh lebih tinggi dibanding orang minum teh, namun kedua jenis minuman ini memiliki kesamaan secara perilaku dan trend.

teavana 1

Contohnya, berdasarkan pantauan aktifitas di sosial media menggunakan GDIAnalytics, ditemukan 3 dari 5 orang Indonesia ngopi pada malam hari, yaitu di jam 20.00 dan 21.00. Aktifitas ini mengalami peningkatan yang cukup signifikan ketika menjelang akhir minggu. Menariknya perilaku yang sama juga ditemukan ketika minum teh, dengan kurun waktu yang tidak berbeda jauh, yaitu pada jam 19.00 dan jam 21.00.

teavana 2

Bagaimana secara global?

Grafik pencarian terhadap ngopi (kopi, tempat kopi dan semua turunannya) dan ngeteh (teh, tempat teh, dan semua turunannya) memiliki trend yang sama. Walaupun begitu, baik kopi maupun teh memiliki basis daerahnya masing-masing. Seperti kopi lebih dominan di benua Amerika, sedangkan teh didominasi di Inggris.

teavana 3

Jadi apa yang dilakukan Starbucks hanya menambahkan produk baru untuk segmen target yang sama. Ini menjawab juga kenapa tea house di Indonesia kebanyakan gulung tikar atau sekarat, karena mereka tidak menyediakan kopi. Orang Indonesia tidak keberatan sarapan dengan kopi dan lunch dengan teh.

Dalam waktu singkat Teavana mencuri perhatian publik dan meningkatkan pendapatan Starbucks secara global.

Sebagai tambahan informasi, mungkin bagi yang tinggal di Jakarta, top of mind orang ketika berbicara tempat nongkrong dan ngopi paling hits adanya di Jakarta Selatan, atau lebih spesifik lagi di daerah Kemang. Faktanya secara data di GDIAnalytics, percakapan mengenai ngopi justru lebih dominan di Jakarta Timur dan Jakarta Pusat.

 teavana 4

Semoga kamu bukan salah-satu yang keliru buka cafe baru ya 😉

Moral of story-nya, adalah penting kita bertindak berdasarkan data. Data seperti GPS dalam menjalankan bisnis. Dengan GPS saja kita masih bisa nyasar kan, apa lagi kalau tidak punya GPS.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.